“BUNGA
BANK DAN ASURANSI DALAM ISLAM”
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Masail
Fiqhiyah
Dosen : Drs. Rd.
Hidayatullah, M.M.Pd.
Disusun
oleh Kelompok
8 / PAI - 4B :
Afifah
alfiani (142101817)
Nia Puspita
Sari (142101826)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
“INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA
HASANUDDIN BANTEN”
TAHUN AJARAN 2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, sebab karena rahmat dan nikmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan
sebuah tugas makalah, yang di berikan oleh Dosen kami.
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas
dari dosen yang bersangkutan agar memenuhi tugas yang telah ditetapkan dan juga
agar setiap mahasiswa dapat terlatih dalam pembuatan makalah. Makalah ini
berjudul “Bunga Bank dan Asuransi
dalam Islam”.
Kami menyadari bahwa setiap manusia memiliki
keterbatasan, begitu pun dengan kami yang masih seorang mahasiswa. Dalam
pembuatan makalah ini mungkin masih banyak sekali kekurangan - kekurangan yang ditemukan, oleh karena itu kami
mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kami mangharapkan ada kritik dan
saran dari para pembaca sekalian dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembacanya.
Serang, Mei 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR .....................................................................................................
i
DAFTAR
ISI ...................................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ……………………………………………………...........….......... 1
B. Rumusan
Masalah ………....………………………………………........…..…...... 1
C. Tujuan
......................................................................................................................
1
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Riba
a.
Pengertian Riba .....................................................................................................2
b.
Dasar Hukum Riba ...............................................................................................
2
c.
Macam-macam Riba.............................................................................................
4
d.
Hikmah
dilarangnya Riba..................................................................................... 6
2.
Bank…………............................................................................................................
7
a.
Pengertian
Bank………………………................................................................ 7
b.
Dasar Hukum Bank...............................................................................................
7
c.
Jenis-jenis Bank....................................................................................................
8
d.
Perbedaan Bank
Konvensional dan Bank Islam...................................................
9
e.
Hokum
Bermuamalah dengan Bank Konvensional dan Hukum Mendirikan Bank
Islam………………………………………………………………………….....
9
3. Asuransi…………………………………………………………………….………10
a. Pengertian
Asuransi............................................................................................
10
b. Dasar
Hukum Asuransi………………………………………………………....11
c. Tujuan
Asuransi………………………………………………………………...12
d. Jenis
Asuransi…………………………………………………………………..12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan…….....…………………………………………………………...............14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………....................16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada dasarnya pengertian mengenai
riba, bank dan asuransi sudah sangat familiar di mata masyarakat. Namun
sebagian mereka tidak mengetahui pasti kedudukannya dalam hukum islam. Seperti
halnya riba adalah salah satu usaha mencari rezeki dengan cara yang tidak benar
dan dibenci Allah swt. Sedangkan Bank menurut jumhur ulama’ merupakan perkara
yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank merupakan sebuah
produk baru yang tidak ada nashnya. Dan ketentuan mengenai asuransi masuk dalam
kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Karena memang
ketetuan mengenai asuransi, baik di dalam al-qur’an maupun hadits Nabi saw.
Termasuk para ulama tidak banyak yang membicarakannya.
Oleh sebab itu, agar masyarakat
lebih mengetahui dengan pasti mengenai riba, bank, dan asuransi. Maka kami akan
menguraikan mengenai kedudukan riba , bank dan asuransi.
B.
Rumusan
Masalah
a.
Apa
yang dimaksud dengan Riba, Bunga Bank, dan Asuransi?
b.
Apa
Dasar hukum Riba, Bunga Bank, dan Asuransi?
c.
Apa
saja jenis-jenis Riba, Bunga Bank, dan Asuransi?
d.
Apa
hikmah dilarangnya Riba?
C.
Tujuan
Penulisan
a.
Agar
seseorang dapat memahami pengertian Riba, Bank, dan Asuransi.
b.
Agar
dapat mengetahui apakah dalam transaksi Riba, Bank dan Asuransi, halal atau
haram, menurut hukum islam.
c.
Mengetahui
hikmah dari Riba, Bank dan Asuransi dalam kehidupan sehari – hari.
BAB II
PENDAHULUAN
1.
RIBA
A.
Pengertian
Riba
Riba yang berasal dari bahasa arab,
artinya tambahan (ziyadah/addition, Inggris), yang berarti: tambahan pembayaran
atas uang pokok pinjaman. Pendapat Al-Jurjani riba adalah kelebihan/tambahan
pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang di syaratkan bagi salah seorang dari
dua orang yang membuat akad.
Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan,
riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki
harta kepada orang yang meminjam hartanya atau uangnya karena janji pembayaran
oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
B.
Dasar
hukum riba
Dasar hukum Hukum melakukan riba
adalah haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ menurut ulama. Keharaman riba
terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang bersifat komersial. Di dalam
melakukan transaksi atau jual beli, terdapat keuntungan atau bunga tinggi
melebihi keumuman atau batas kewajaran, sehingga merugikan pihak-pihak
tertentu. Fuad Moch. Fahruddin berpendapat bahwa riba adalah sebuah transaksi
pemerasan.
Dasar hukum pengharaman riba menurut
Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ para ulama adalah sebagai berikut:
a.
Al-Qur’an
. . . إِنَمَا الْبَيْعُ مِثْلَ الرِّبَوا وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَوا
“...Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275)
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَوا
وَيُرْبِى الصَّدَقَتِ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. ” ( Q.S. Al-Baqarah:276).
b.
Sunnah
Rasulullah saw.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ قَالَ: لَعَنَ
رَسُوْلُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَكِلَ الرِّبَاوَمَوْ كِلَهُ
وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءُ
(متفق عليه)
“Dari
Jabir r.a. ia berkata, ‘Rasulullah saw. telah melaknati orang-orang yang
memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil
riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya),
Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja’.” (H.R. Muslim).
إِحْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ: قَالُوْا:
يَارَسُوْلَ اللَّهُ وَمَاهُنَ قَالَ: الشِّرْكَ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ
النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللَّهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَا ، وَاَكْلُ
مَالَ الْيَتِيْمِ الزَّحْفِ وَقَدْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ
(متفق عليه)
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Para sahabat
bertanya,”Apakah tujuh hal tersebut ya Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda,
“Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan
alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada
saat perang, dan menuduh berzina wanita yang suci, beriman, dan lupa (lupa dari
maksiat).” (H.R. Bukhari dan Muslim).
c.
Ijma’
para ulama
Para ulama sepakat bahwa seluruh umat Islam mengutuk dan
mengharamkan riba. Riba adalah salah satu usaha mencari rizki dengan cara yang
tidak benar dan dibenci Allah SWT. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan
diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan hidup
manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan. Menimbulkan kesenjangan
sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi
rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.
C.
Macam-macam
Riba
Para ulama fiqih membagi riba menjadi empat macam, yaitu:
a.
Riba
Fadl
Riba fadl adalah tukar menukar atau jual beli antara dua buah
barang yang sama jenisnya, namun tidak sama ukuranya yang disyaratkan oleh
orang yang menukarnya, atau jual beli yang mengandung unsur riba pada barang
yang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Sebagai
contohnya adalah tukar-menukar emas dengan emas atau beras dengan beras, dan
ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Kelebihan yang
disyaratkan itu disebut riba fadl. Supaya tukar-menukar seperti ini tidak
termasuk riba, maka harus ada tiga syarat yaitu:
a)
Barang
yang ditukarkan tersebut harus sama.
b)
Timbangan
atau takarannya harus sama.
c)
Serah
terima pada saat itu juga.
b.
Riba
Nasi’ah
Riba
nasi’ah yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun yang tidak sejenis
atau jual beli yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu
yang dilambatkan. Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan
kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada
benda dibanding untung pada benda yang ditakar atau yang ditimbang yang berbeda
jenis atau selain yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya. Maksudnya
adalah menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak dengan
pembayaran diakhirkan, seperti menjual 1 kg beras dengan 1 ½ kg beras yang
dibayarkan setelah dua bulan kemudian. Kelebihan pembayaran yang disyaratkan
inilah yang disebut riba nasi’ah.
عَنْ سَمُرَةَبْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ أَنَّالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ
بِالْحَيَوَانِ نَسِيْءَةً
“Dari
Samurah bin Jundub, sesungguhnya Nabi saw telah melarang jual beli binatang
yang pembayarannya diakhirkan” (H.R Lima ahli hadist).
c.
Riba
Qardi
Riba qardi adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan
atau tambahan dari orang yang meminjam. Misalnya Ali meminjam uang kepada Abbas
sebesar Rp.10.000, kemudian Abbas mengharuskan kepada Ali untuk mengembalikan
uang itu sebesar Rp. 11.000. inilah yang disebut riba qardi.
d.
Riba
yad
Riba yad yaitu
berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima. Contohnya, orang yang
membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, penjual
dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah terima barang itu. Jual beli
ini dinamakan riba yad. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual
beli yang mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua
orang yang berakad sebelum serah terima, seperti menganggap sempurna jual beli
antara gandum dan syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat
akad.
Menurut ulama
Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada
pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan
pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad
dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Dasar hadits
yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah:
إِنَّمَا الرِّبَا
فِى النَّسِيْئَةِ (رواه البحارى و مسلم)
“
Tidak ada riba kecuali pada riba nasi ”H.R. Bukhari Muslim.
Ada syarat-syarat agar jual beli tidak menjadi riba, yaitu:
1.
Menjual
sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
a.)
Serupa
timbangan dan banyaknya.
b.)
Tunai.
c.)
Timbang
terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
2.
Menjual
sesuatu yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu:
a.)
Tunai.
b.)
Timbang
terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
Semua agama Samawi mengharamkan riba. Hal ini disebabkan karena
riba mempunyai bahaya yang sangat berat. Diantaranya adalah:
1.
Dapat
menimbulkan permusuhan antar pribadi dan mengikis habis semangat kerja sama
atau saling tolong-menolong, membenci orang yang mengutamakan kepentingan diri
sendiri, serta yang mengeksploitasi.
2.
Dapat
menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak mau bekerja keras, dan
penimbunan harta di salah satu pihak. Islam menghargai kerja sama sebagai
sarana pencarian nafkah.
3.
Sifat
riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan agar manusia suka mendermakan harta
kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya membutuhkan harta.
D.
Hikmah
Dilarangnya Riba
a.
Menghindari
tipu daya diantara sesama manusia.
b.
Melindungi
harta sesama muslim agar tidak dimakan dengan batil.
c.
Memotifasi
orang muslim untuk menginvestasi hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari
penipuan, jauh dari apa saja yang dapat menimbulkan kesulitan dan kemarahan
diantara kaum muslimin.
d.
Menutup
seluruh pintu bagi orang muslim.
e.
Menjauhkan
orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan karena pemakan riba
adalah orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
f.
Membuka
pintu-pintu kebaikan di depan orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhirat.
g.
Rajin
mensyukuri nikmat Allah swt dengan cara memanfaatkan untuk kebaikan serta tidak
menyia-nyiakan nikmat tersebut.
h.
Melakukan
praktik jual beli dan utang piutang secara baik menurut Islam.
2.
BANK
A.
Pengertian
Bank
Menurut UU No.10 tahun 1992 tentang bank, bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan
menurut Dr. Fuad Moh. Fachruddin, bank adalah suatu perusahaan yang
memperdayagunakan hutang-piutang, baik yang merupakan uangnya sendiri maupun
orang lain. Fungsi bank adalah sebagai berikut:
a)
Menyimpan
dana masyarakat.
b)
Menyalurkan
dana masyarakat ke publik.
c)
Memperdagangkan
utang piutang.
d)
Mengatur
dan menjaga stabilitas peredaran uang.
e)
Tempat
menyimpan hata kekayaan (uang dan surat berharga) yang terbaik dan aman.
f)
Menolong
manusia dalam mengatasi kesulitan ekonomi keuangan.
Tujuan bank diantaranya yaitu :
1)
Menolong
manusia dalam banyak kesulitan, (peminjaman uang tunai atau kredit).
2)
Meringankan
hubungan antara para pedagang dan penguhasa dengan memperlancar pemindahan uang
(money-transfer).
3)
Bagi
hartawan adalah untuk menjaga keamanan dan memberi perlindungan dari penjahat
dan pencuri dengan menyimpan di tempat yang aman.
4)
Untuk
kepentingan dan perkembangan kepentingan, baik nasional maupun internasional
dalam seluruh bidang kehidupan.
B.
Dasar
Hukum Islam
Karena bank adalah masalah baru dalam khazanah hukum Islam, maka
para ulama masih memperdebatkan keabsahan sebuah bank. Berikut ini beberapa
pandangan mengenai hukum perbankan, yaitu mengharamkan, tidak mengharamkan, dan
syubhat (samar-samar).
a.
Kelompok
yang mengharamkan
Ulama yang mengharamkan riba di antaranya adalah Abu Zahra (guru
besar Fakultas Hukum, Kairo, Mesir), Abu A’la al-Maududi (ulama Pakistan), dan
Muhammad Abdullah al-A’rabi (Kairo). Mereka berpendapat bahwa hukum bank adalah
haram, sehingga kaum Muslimin dilarang mengadakan hubungan dengan bank yang
memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa.
b.
Kelompok
yang tidak mengharamkan
Ulama yang ridak mengharamkan di antaranya adalah Syekh Muhammad
Syaltut dan A. Hassan. Mereka mengatakan bahwa kegiatan bermuamalah kaum
Muslimin dengan bank bukan merupakan perbuatan yang dilarang. Bunga bank di
Indonesia tidak bersifat ganda, sebagaimana digambarkan dalam Q.S. Ali Imran
ayat 130.
c.
Kelompok
yang menganggap syubhat (samar)
Bank merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam
Islam karena bank merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nasnya. Hal-hal
yang belum ada nas dan masih diragukan ini yang dimaksud dengan barang syubhat
(samar).
Karena untuk kepentingan umum atau manfaat sosial yang sangat
berarti bagi umat, maka berdasarkan kaidah usul (maslahah mursalah), bank masih
tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya untuk bank pemerintah
(nonswasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan alasan tingkat kerugian
pada bank swasta sangat tinggi dibanding dengan bank pemerintah.
C.
Jenis-jenis
Bank
Berdasarkan jenis atau sistem pengelolaannya, bank dapat
dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a)
Bank
Konvensional (dengan sistem bunga)
Bank dengan sistem bunga (Konvensional) ada dua jenis, yaitu bank
umum dan bank perkreditan rakyat.
b)
Bank
Syariah (Bank dengan prinsip Bagi Hasil)
Karena belum ada kata sepakat dari para ulama tetang hukum bank
konvensional sementara umat Islam harus mengikuti perkembangan ekonomi sehingga
perlu jalan keluar, maka lahirlah bank syariah dengan prinsip bagi hasil.
c)
Operasional
Bank Syariah
Prinsip operasional dan produk syariah dapat dilihat dari dua sisi,
sisi pergerakan dana masyarakat dan sisi penyaluran dana kepada masyarakat.
D.
Perbedaan
Bank Konvesional dan Bank Islam
Bank konvensional :
1.
Memakai
perangkat bunga atau bagi hasil .
2.
Profit
Oriented.
3.
Hubungan
dengan nasabah dalam bentuk kreditur-kreditur.
4.
Creator
for money supply.
5.
Melakukan
investasi yang halal dan haram.
6.
Tidak
terdapat dewan sejenis Dewan Pengawas Syari’ah.
Bank islam :
1.
Berdasarkan
margin keuntungan bagi hasil.
2.
Profit
dan falah oriented.
3.
Hubungan
dengan nasabah dalam bentuk kemitraan .
4.
Users
of real founds.
5.
Melakukan
investasi yang halal saja.
6.
Pengerahan
dan penyaluran dana harus sesuai dengan pendapat Dewan Pengawas Syari’ah.
E.
Hukum
Bermuamalah Dengan Bank Konvensional Dan Hukum Mendirikan Bank Islam
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat islam hampir
tidak bisa menghindari dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai
sistem bunga dalam segala aspek kehidupannya termasuk kehidupan agamanya.
Misalnya ibadah haji di Indonesia.
Perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank
konvensional dan hukum bunga bank :
1. Abu
Zahrah : bunga bank itu riba nasi’ah, dilarang oleh islam. Karena itu islam
tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga kecuali terpaksa.
2. A.Hasan
: Bunga bank bukan riba yang diharamkan karena tidak bersifat ganda sebagaimana
dalam surat Ali Imron: 130.
3. Majelis
Tarjih Muhammaddiyah di sidoarjo Jawa Timur 1968: Bunga bank termasuk subhat
artinya belum jelas halal dan haramnya. Tapi jika dalam keadaan terpaksa kita
di bolehkan bermuamalah dengan bank konvensional
3.
ASURANSI
Sesuai dengan prinsip Islam yang menghindari bentuk-bentuk bunga,
dalam akad asuransi tidak ada riba di dalamnya. Asuransi merupakan produk
ekonomi Islam yang tergolong baru dalam khazanah hukum Islam. Berbagai perbedaan
pendapat muncul di kalangan umat Islam terkait apakah akad asuransi ini
dibenarkan dalam islam atau tidak.
a.
Pengertian
Asuransi
Istilah asuransi seringkali
disamakan dengan istilah pertanggungan (kafalah). Pengertian tersebut dapat
dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha
perasurasian.
Asuransi atau pertanggungan adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih, pihak penanggung mengingatkan diri pada
tertanggung dengan menerima premiasuransi, untuk memberikan penggantian pada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan atau tanggung jawab hukum pada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.
Dari pengertian di atas dapat
dikemukakan bahwa asuransi pada dasarnya adalah pertanggungan dan ikhtiar
seseorang dalam rangka menanggulangi resiko atau akibat-akibat dari terjadinya
sebuah peristiwa yang tidak diinginkan (diharapkan) terjadi, namun terjadi.
b.
Dasar
Hukum Asuransi
Ketentuan mengenai asuransi masuk
dalam kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Hal ini
terjadi karena memang ketentuan mengenai asuransi, baik di dalam al-qur’an
maupun hadits Nabi saw, termasuk para ulama tidak banyak yang membicarakannya.
Untuk mengeluarkan sebuah produk
hukum ijtihad, dapat menggunakan berbagai cara, antara lain menggunakan konsep
maslahah mursalah atau dengan cara kias (metode analgis). Berdasarkan hasil
ijtihad para ulama dengan menggunakan metode ini maka dasar hukum asuransi di
lingkungan ulama muncul beragam atau berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Pendapat
pertama, mengatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dipandang
haram menurut ketentuan hukum. Artinya, melakukan akad asuransi tidak
dibolehkan. Ulama yang mengharamkan asuransi ini adalah Abdullah al-Qalqili dan
Muhammad Yusuf al-Qardawi.
2.
Pendapat
kedua, menyatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dapat
diterima dalam syariat Islam. Ulama yang mendukung pendapat ini adalah Abdul
Wahab Khallaf dan Mustafa Ahmad Zarqa (Syiria), Muhammad Yusuf Musa (Kairo).
3.
Pendapat
ketiga, mengatakan bahwa asuransi sosial diperbolehkan, sedangkan asuransi
komersial tidak diperdolehkan, kaena bertentangan dengan syariat Islam.
Pendapat ini didukung oleh ulama Abu Zahrah.
4.
Pendapat
keempat, mengatakan bahwa asuransi dengan segala bentk perwujudannya dipandang
syubhat. Pendapat tersebut didukun oleh K.H. Ahmad Azhar Basyir (Indonesia).
Dari berbagai
keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi dibolehkan selama tidak
bertentangan dengan syariat Islam. Artinya, hendaknya berdasarkan asas gotong
royong (ta’awun) dan perjanjian-perjanjian yang dibuat benar-benar bersifat
tolong-menolong, bukan untuk mencari laba atau keuntungan dengan jalan yang
tidak benar.
Dalam buku
Hukum Asuransi di Indonesia yang ditulis oleh Vide Wirjono Prodjadikoro,
dijelaskan, menurut pasal 246 Wet Boek Van Koophandel (Kitab Undang-Undang
Perniagaan), bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana pihak
yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang
premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin
karena akibat dari satu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
c.
Tujuan
Asuransi
Tujuan asuransi adalah menawarkan
jaminan perlindungan untuk menghadapi kerugian akibat suatu bencana yang
terjadi pada yang diasuransikan, tanpa ada unsur penambahan kekayaan seseorang.
Cara untuk menanggulangi bahaya yang
mungkin terjadi biasanya dipraktikkan dengan bersama-sama menanggung kerugian
itu untuk tujuan meringankan beban penderita yang diasuransikan. Hal ini
berarti bahwa tujuan dari asuransi lebih dekat dengan arti iuran untuk
perlindungan bersama.
d.
Jenis
Asuransi
Social insurance lebih dianjurkan
daripada bentuk-bentuk asuransi lain yang tidak jelas status hukumnya. Di
Indonesia terdapat dua asuransi, yaitu asuransi sosial dan takaful. Asuransi
sosial adalah asuransi pemerintah yang merupakan tuntunan UU 1945, khususnya
pasal kesejahteraan sosial. Asuransi takaful merupakan lembaga asuransi yang
berbasis Islam. Pembahasan kedua modal asuransi (sosial dan takaful) dirasa
lebih cocok dan diterima oleh masyarakat Islam di Indonesia.Asuransi sosial
memiliki kekhususan tersendiri, diantaranya:
1)
Penyelenggara
pertanggungan (asuransi) adalah pemerintah.
2)
Sifat
hukum pertanggungan itu adalah wajib bagi seluruh anggota masyarakat atau sebagai
anggota tertentu masyarakat. Misalnya, bagi para penumpang kendaraan, baik
laut, darat maupun udara.
3)
Penentuan
penggantian kerugian diatur oleh pemerintah dengan peraturan khusus yang dibuat
untuk itu.
4)
Tujuan
asuransi memberikan suatu jaminan sosial (social security), bukan untuk mencari
keuntungan.
Secara
operasional, asuransi yang sesuai dengan syariah memiliki sistem yang
mengandung hal-hal sebagai berikut:
a)
Mempunyai
akad takafuli (tolong-menolong) untuk memberikan santunan atau perlindungan
atas musibah yang akan datang.
b)
Dana
yang terkumpul menjadi amanah pengelola dana. Dana tersebut diinvestasikan
sesuai dengan instrumen syariah seperti mudarabah, wakalah, wad’ah, dan
murabahah.
c)
Premi
memiliki unsur tabaruq atau mortalita (harapan hidup).
d)
Pembebanan
biaya operasional ditanggung pemegang polis, terbatas pada kisaran 30% dari
premi sehingga pembentukan pada nilai tunai cepat terbentuk di tahun pertama
yang memiliki nilai 70% dari premi.
e)
Dari
rekening tabarru’ (dana kebijakan seluruh peserta) sejak awal sudah diikhlaskan
oleh peserta untuk keperluan tolong-menolong bila terjadi musibah.
f)
Mekanisme
pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk di mana apabila
terjadi musibah, maka semua peserta ikut saling menanggung dan membantu.
g)
Keuntungan
(profit) dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil
(mudarabah), atau dalam akad tabarru’ dapat berbentuk dengan memberikan hadiah
kepada peserta dan upah (fee) kepada pengelola.
h)
Mempunyai
misi aqidah, sosial serta mengangkat perekonomian umat Islam atau misi
istiqadi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mayoritas ulama (jumhur) sepakat bahwa praktik bunga yang ada di
perbankan konvensional adalah sama dengan riba dan karena itu haram. Walaupun
ada sejumlah layanan perbankan yang tidak mengandung unsur bunga dan karena itu
halal. Namun demikian, ada sejumlah ulama yang menganggap bahwa bunga bank
bukanlah riba dan karena itu halal hukumnya.
Bagi seorang muslim yang taat dan berada dalam kondisi yang ideal
dan berada dalam posisi yang dapat memilih, tentunya akan lebih baik kalau
berusaha menjauhi praktik bank konvensional yang diharamkan. Namun, apabila
terpaksa, Anda dapat memanfaatkan segala layanan bank konvensional karena ada
sebagian ulama yang menghalalkannya.
Riba adalah salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang tidak
benar dan dibenci Allah swt. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri
sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan hidup manusia,
terutama mereka yang memerlukan pertolongan, menimbulkan kesenjangan sosial
yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa
kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak. Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat
islam hampir tidak bisa menghindari dari bermuamalah dengan bank konvensional
yang memakai sistem bunga dalam segala aspek kehidupannya termasuk kehidupan
agamanya. Misalnya ibadah haji di Indonesia.
Karena untuk kepentingan umum atau manfaat sosial yang sangat
berarti bagi umat, maka berdasarkan kaidah usul (maslahah mursalah), bank masih
tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya untuk bank pemerintah
(nonswasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan alasan tingkat kerugian
pada bank swasta sangat tinggi dibanding dengan bank pemerintah.
Asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana pihak yang
menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi
sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena
akibat dari satu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
Ketentuan mengenai asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad
karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Hal ini terjadi karena memang
ketentuan mengenai asuransi, baik di dalam al-qur’an maupun hadits Nabi saw termasuk
para ulama tidak banyak yang membicarakannya. Dari berbagai keterangan di atas,
dapat disimpulkan bahwa asuransi dibolehkan selama tidak bertentangan dengan
syariat Islam. Artinya, hendaknya berdasarkan asas gotong royong (ta’awun) dan
perjanjian-perjanjian yang dibuat benar-benar bersifat tolong-menolong, bukan
untuk mencari laba atau keuntungan dengan jalan yang tidak benar.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhdi, Prof. Drs H. Masjfuk. MASAIL FIQHIYAH, PT Toko Gunung Agung,
Jakarta: 1997, Hal.102.
Rokhman, M.Ag Roli Abdul. Fiqih 2 MA. Jawa Timur: PT Wahana
Dinamika. 1999
Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.1999
Mujtaba, Saifuddin. AL – MASAILUL FIQHIYAH. Rausyan fikr. Jombang:
2007, Hal.345
Tidak ada komentar:
Posting Komentar