Kamis, 12 Mei 2016

Meningkatkan Efektivitas Pembelajaraan



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Menciptakan kelas efektif dengan peningkatan efektivitas proses pembelajaran tidak bisa dilakukan dengan parsial, tetapi harus holistik, yang dalam teori Hunt ada lima bagian penting dalam peningkatan efektivitas pembelajaraan, yaitu perencanaa, komunikasi, pengajaran, pengaturan dan evaluasi (Hunt, 1999:21). Namun Kenneth D. Moore, mengembakannya menjadi tujuh langkah peningkatan pembelajaran efektif, yakni dari mulai perencanaa, perumusan berbagai tujuan, pemaparan perencanaan pemelajaran pada siswa, proses pembelajaran dengan menggunkan berbagai strategi, penutupan proses pembelajaran dan evaluasi, yang memberi feed back untuk perencangan berikutnya.

1.2. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana cara mengefektivitaskan pembelajaran dalam kelas?
2.      Bagaimana guru menyusun perencanaan pembelajaran yang bijak?
3.      Bagaimana guru mampu berkomunikasi secara efektif denagan siswa-siswanya?
4.      Bagaimana guru mengembangkan strategi pembelajaran?
5.      Bagaimana guru mampu menguasai kelas?
6.      Bagaimana guru melakukan evaluasi secara benar?
7.      Bagaimana strategi dan metode pengajaran?

1.3. Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui cara mengefektifitaskan pembelajaran dalam kelas.
2.      Untuk mengetahui guru menyusun perencanaan pemelajaran yang bijak.
3.      Untuk mengetahui guru mampu berkomunikasi secara efektif.
4.      Untuk mengetahui guru mengembangkan pembelajaran.
5.      Untuk mengetahui guru mampu menguasai kelas.
6.      Untuk mengetahui guru melakukan evaluasi secara benarr.
7.      Untuk mengetahui strategi dan metode pengajaran.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1.            Meningkatkan Efektivitas Pembelajaraan
Mengajar itu efektif, jika pembelajar mengalami berbagai pengalamaan baru dan perilakunya menjadi berubah menuju titik akumulasi kompotensi yang dikehendaki. Akan tetapi, idealitas tersebut tidak akan tercapai jika tidak melibatkan siswa dalam perencanaan dan proses pembelajaraan. Mereka harus dilibatkan secara penuh agar bergairah dan tidak ada yang tertinggal, karena proses tersebut akan membuat perhatian guru menjadi individual. Jika itu berjalan, maka semua siswa akan mencapai kommpetensi harapannya, kecintaan mereka pada sekolah akan tumbuh, dan mereka benar-benar menjadi anak terpelajar, beradab dan menaati berbagai aturan yang berlaku di masyarakat.

Menciptakan kelas efektif dengan peningkatan efektivitas proses pembelajaran tidak bisa dilakukan dengan parsial, tetapi harus holistik, yang dalam teori Hunt ada lima bagian penting dalam peningkatan efektivitas pembelajaraan, yaitu perencanaan, komunikasi, pengajaran, pengaturan dan evaluasi (Hunt, 1999:21). Namun Kenneth D. Moore, mengembangkannya menjadi tujuh langkah peningkatan pembelajaran efektif, yakni dari mulai perencanaan, perumusan berbagai tujuan, pemaparan perencanaan pembelajaran pada siswa, proses pembelajaran dengan menggunkan berbagai strategi, penutupan proses pembelajaran dan evaluasi, yang memberi feed back untuk perancangan berikutnya.

Hunt dan Moore sebenarnya berbicara fokus yang sama, hanya saja Hunt lebih menyederhanakan topik, sementara Moore menuraikan sebagian topik, seperti perencanaa dibagi menjadi dua, yaitu penetapatan topic yang akan diajarkan dengan perumusan tujuan pembbelajaran. Demikian pula evaluasi diurai dengan dua kegiatan penutupan dan evaluasi. Pada hakikatnya Hunt dan Moore membahas topic dan kisaran persoalan yang sama, bahwa guru efektif itu harus memulai dengan perencanaan pembelajaran, lalu mengomunikasikan perencanaan tersebut dengan client-nya, yaitu siswa, kemudian menyelengarakan proses pembelajaraan mengelola kelas sehingga efektif, dan terakhir melakukan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar, yang hasil akan menjadi input untuk perencaanaan berikutnya.[1]

1.       Guru Harus Menyusun Perencanaan Pembelajaran Yang Bijak
Mengajar merupakan pekerjaan akademis dan professional. Namun anehnya, banyak para pengajar yang tidak mencermikan kedua karekteristik pekerjaannya, mereka masuk kelas tanpa mempersiapkan perencanaan sama sekali, karena dianggap bahwa mengajar merupakan pekerjaan rutin yang setiap hari dikerjakan dengan karekter murid yang setiap tahun sama, serta kurikulum dan bahan ajar yang sama pula. Dengan demikian, para guru tersebut mengajar sesuai yang mereka ingat, tanpa memeperhatikan tingkat kompetensi anaksaat dia akan memulai mengajar, karena tidak memiliki ukuran hasil evaluasi hari-hari sebelumnya, dan juga mengajar sesuai rasa keraguannya tanpa memerhatikan apa yang diperlukan siswa untuk dipelajari hari itu.

Dalam upaya meningkatkan efektivitas proses pembelajaran untuk mencapai hasil belajar terbaik sesuai harapan, perencanaan pembelajaran merupakan sesuatu yang mutlak harus dipersiapkan setiap guru akan melaksanakan proses pembelajaran, walaupun belum tentu semua yang direncanakan akan dapat dilaksanakan, karena bisa terjadi kondisi kelas merefleksikan sebuah permintaan yang berbeda dari rencana yang sudah dipersiapkan, khususnya tentang strategi yang sikapnya opsional. Namun demikian, guru tetap diharapkan mampu menyusun perencana yang lebih sempurna, sesuai dengan kebutuhan siswa, sehinggaa semua siswa bisa mengikuti proses kegiatan belajar sesuai harapan, semua siswa bisa memahami bahan-bahan ajar yang ditawarkan, semua siswa bisa memperoleh berbagai pengalaman baru dan menambah kompetensinya sesuai hasil belajar mereka.

Untuk dapat membuat perencanaan yang baik dan dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang ideal, setiap guru harus mengetahui unsur-unsur perencanaan pembelajaran yang baik, antara lain, kebutuhan siswa, tujuan yang dapat dicapai, berbagai strategi yang relevan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, dan criteria evaluasi (Hunt, 1999: 24). Bersama dengan itu, peran guru dalam mengembangkan strategi amat penting, karena aktivitas siswa belajar sangat dipengaruhi oleh sikap dan perilaku guru dalam kelas. Jika mereka antusias, memerhatika aktivitas dan kebutuhan siswa, maka siswa-siswa tersebut pun akan mengembakan aktivitas belajarnya dengan baik, antusias, giat, dan serius.

1)      Perencanaan untuk Mengapresiasi Keragaman
Bagian pertama yang benar-benar harus dianalisis oleh guru adalah kebutuhan siswa,  karena daya serap dan kemampuan siswa dalam kelas itu berbeda-beda. Tidak mungkin 40 siswa memiliki internal indeks kemampuan yang memiliki rata-rata dalam interval yang sama. Bagaimana guru menyikapi keraguan tersebut, apakah siswa yang tertinggal akan diibaratkan dalam ketertinggalannya, dan dipaksa untuk bisa dan dipaksa untuk dapat mengikuti irama belajar yang tingkat akselarasi pemahamannya tinggi. Tentu sikap tersebut tidak bijak, maka guru harus dengan naluri keguruannya mampu membuat perencanaan yang peduli terhadap berbagai perbedaan yang berkembang di kalangan siswanya. Bagaimana guru mengembangkan perlakuan terhadap mereka yang memiliki tingkat kemampuan tinggi, dan bagaimana mengembangkan perlakuan bagi mereka yang memiliki tingkat kemampuan rendah, atau dengan tingkat kemampuan rata-rata. Guru tidak boleh membiarkan satupun siswanya tertinggal.[2]

Persoalan yang dihadapi guru sangat realistis, bahwa dalam kelasnya, dalam mata pelajarannya terhadap indeks perbedaan kemampuan belajar siswa, baik dipengaruhi oleh faktor genitik, lingkungan belajar maupun pengalaman belajar sebelumnya. Bagaimana menghadapi siswa-siswa dengan kemampuan belajar tinggi. Siswa-siswa dengan tingkat kemampuan tinggi memiliki permintaan perlakuan belajar yang berbeda dari lainnya. Demikian pula, siswa-siswa dengan tingkat kemampuan rendah, yang menuntut perlakuan berbeda, karena mereka punya hak yang sama untuk memperoleh kompetensi sesuai yang telah disepakati melalui perumusan kurikulum.   

Menurut Hunt (Hunt, 1999: 27) merekomendasikan agar guru membiarkan siswa yang berkemampuan tinggi untuk menyelesaikan tugas-tugas dasarnya sesuai waktu yang dia butuhkan, lalu memberi berbagai pengayaan atau melakukan aktivitas lain sesuai kebutuhan belajar. Setidaknya ada empat prinsip pokok dalam mnghadapi keragaman berbasis tingkat kemampuan siswa belajar, yaitu:
a.       Biarkan siswa yang berkemampuan tinggi untuk menyelesaikan tugas-tugsnya dalam waktu singkat, dan biarkan dia memperdalam pemahamanannya dalam topik yang sama.
b.      Hilangkan kemungkinan meningkatnya waktu terbuang dalam proses pembelajaran selama masa studi siswa.
c.       Biarkan guru menghabiskan waktunya lebih lama untuk memberi bantuan penjelsan bagi siswa yang rendah tingkat kemampuan belajarnya.
d.      Beri peluang siswa-siswa yang mempunyai berkemampuan tinggi untuk menyelesaikan target kurikulernya lebih cepat, sehingga mereka lebih memiliki waktu lebih untuk pengembangan pengalaman dan kemampuan keilmuannya, baik dengan melakukan tutorial bagi teman sekelas memiliki kemampuan rendah maupun untuk melakukan kegiatan mandiri yang terarah, dengan assignment guru.

Menurut Donald P. Kauchak merekomendasikan, untuk menghadapi keragaman kemampuan siswa dalam belajar, seorang guru memiliki banyak pilihin, di antaranya (Kauchak, 1998: 29):
a.       Ciptakan rancangan kelas yang multidimensional, dan buat juga rancangan proses pembelajaran yang menggambarkan keragaman kemampuan belajar tersebut.
b.      Buat rancangan waktu belajar yang fleksibel. Beri kelonggaran waktu bagi siswa dengan kemampuan rendah untuk bisa menyelesaikan tugas-tugasnya.
c.       Kelompokan siswa berdasarkan basis kemampuannya. Dengan cara ini bisa memungkin guru untuk mengajar sesuai basis kemampuan siswa-siswana, dengan tanpa mengabaikan perlakuan terhadap kelompok lainnya.
d.      Persiapkan strategi pembelajaran untuk kelompok yang lamban dengan strategi-strategi yang tidak saja akan mengantarkan mereka memahami tugas-tugasnya, tetapi juga akan mampu meningkatkan kemampuan belajar mereka.
e.       Gunakan toutorial sebaya dan belajar bersama untuk menambah kemampuan dan pengalaman mereka masing-masing, setidaknya dalam interaksi sosial.

2)      Merumuskan Tujuan atau Kompetensi
Pendidikan selalu berakhir dengan kompetensi, yakni kecakapan atau kemampuan. Kompetensi lulusan merupakan rumusan kompetensi umum yang menggambarkan akumulasi integral berbagai kecakapan serta kemampuan yang akan dimiliki siswa setelah mereka selesai dan lulus dari sekolah tersebut,, dengan rumusan utuh holistik dan menggambarkan konsep yang terpadu anatr berbagai kompetensi partialnya.

Sementara untuk kompetensi pelajaran sudah merupakan wilayah guru yang dikoordinasikan oleh manajemen sekolah untuk mendiskusikannya dengan komite sekolah, dalam rangka penyerap ide, permintaan serta berbagai hasil analisis objektif dari para ahli pendidikan dan pengguna lulusan yang tergabung dalam komite tersebut, serta berbagai penguatan dari sekolah yang akan dijadikannya sebagai program unggulan dari sekolah yang bersangkutan. Strukturisasi ide-ide dalam bentuk format sylabus atau course out line sudah merupakan tugas guru mata pelajaran yang bersangkutan yang dibahas dalam rumpun guru mata pelajaran sejenis di sekolah tersebut. Mereka menyusun sekwensi dan skope kompetensi siswa serta berbagai pokok bahasan dan materi pelajaran yang perlu disusun untuk mencapai berbagai kompetensi sesuai rumusan.

Kurikulum operasional inilah yang kemudian diturunkan dalam bentuk perencanaan pembelajaran (lesso plan), yang harus disusun oleh guru dengan memperhatikan berbagai variable sebagaimana telah dikemukakan di atas, yakni keragaman siswa, baik dalam tingkat kemampuan mereka menyerap bahan ajar, keragaman basis kultur mereka, kebiasaan lingkungan belajar siswa, ketahan mereka menyerap bahan ajar, kebiasan mereka untuk belajar bersama dalam kelompok atau kebiasaan fisikal mereka dalam belajar. Sekali lagi, tidak mungkin guru dapat menyusun perencanaan yang bisa diterima oleh semua siswa, sehingga mereka dapat meningkmati proses belajarnya, dan dapat menghasilkan berbagai perubahan yang berarti.[3]

3)      Menyusun Rencana Implementasi Pembelajaran dalam Kelas
Perencanaan pembelajaran yang baik tidak menjadi jaminan akan mampu menciptakan kelas atau pembelajaran yang efektif, karena sangat tergantung pada berbagai variable yang akan berkontribusi terhadap pelaksanaan perencanaan tersebut secara efektif. Namun pembelajaran yang baik atau yang efektif tidak akan pernah terwujud tanpa sebuah perencanaan yang baik. Model perencanaan di atas, baru sampai perumusan indikator-indikator  kompetensi yang bisa dijangkau dengan proses pembelajaran materi tertentu. Namun perencanaan tersebut belum menjangkau bagaimana rencana operasional 90 menit bersama siswa, apa dahulu yang akan dikerjakan guru di hadapan siswa-siswanya itu, apa dahulu yang akan mereka kerjakan dalam lima menit pertama, kemudian lima menit berikutnya, dan seterusnya, sampa mereka menghabiskan waktu 90 menit, dan telah membuat banyak perubhan pada perilaku siswa.[4]

2.      Guru Harus Mampu Berkomunikasi secara Efektif dengan Siswa-Siswanya
Guru adalah seorang komunikator karena dia akan menyampaikan rencana-rencana pembelajaran pada siswa, kemudian dia juga akan mengatur siswa dalam kelasnya dari awal masuk kelas sampai mengakhiri kelas, dan dia juga akan menjelaskan bahan-bahan ajar pada siswa, bahkan akan harus menjelaskan berbagai bahan ajar yang belum dipahami siswa dengan baik, guru juga akan menjelaskan berbagai perbaikan dari tugas-tugas siswa, menjelaskan berbagai aktifitas belajar besok, dan yang akan datang. Semua aktifitas guru terkait dengan komunikasi. Dalam konteks apapun tugas guru membutuhkan kemampuan komunikasi dengan baik, termasuk mengomunikasikan program-program kelasnya terhadap komite sekolah atau orang tua siswa.

Komunikasi adalah sebuah proses yang terus berkembang karena bukan sesuatu pekerjaan yang terisolasi dari kejadian, padahal kejadian itu terus berubah mengikuti perubahan yang dilakukan manusia sendiri. Dalam teori yang amat tradisional, menurut Hunt dikemukakan bahwa unsur-unsur pokok dari komunikasi adalah pesan sasaran komunikasi, sumber dan media (Hunt, 1999: 62), dalam konteks komunikasi kelas, pesan adalah bahan ajar yang akan disampaikan, instruksi-instruksi untuk pelaksanaan proses pembelajaran tugas-tugas dan rencana-rencana kegiatan lainnya. Adapun sarana komunikasi adalah siswa, sumber pesan adalah guru, sedangkan media komunikasi adalah pesan guru, sedangkan media komunikasi adalah bahasa atau simbol lain yang digunakan untuk penyampaian pesan.[5]

Komunikasi guru pada siswa ada dua macam, yaitu komunikasi verbal adalah komunikasi dengan kata, baik diucapkan maupun ditulis. Ada empat kosa kata yang berkaitan dengan bahasa verbal yaitu membaca, mendengar, menulis, dan mengucapkan. Keempat bentuk komunikasi ini mengunakan media kata. Problematika komunikasi verbal adalah pada bahasa yang digunakan, karena tidak semua kata bermakna konkret. Ketika komunikasi itu menggunakan kata-kata yang bermakna pasti, yakni hanya bermakna satu dan tidak interpretatif, maka akan semakin efektif komunikasi. Karena pesan tersampaikan secara benar dan pasti. Sementara jika kata yang interpreatif yang dipakai, maka bisa jadi enerima pesan memakna lain dari pemesan. Dengan demikian, semakin konkret bahasa yang digunakan, maka akan semakin efektif pesan itu tersampaikan. Dan semakin abstrak bahasa yang digunakan, maka semakin sukar pesan itu tersampaikan. Dengan demikian dalam proses pembelajaran, sebaiknya menggunakan kata-kata yang tidak bermakna ganda sehingga dipahami sama antara guru dengan siswa.

Kemudian siswa juga harus dilatih untuk bisa memahami pesan-pesan verbal baik melalui kegiatan mendengar maupun membaca. Dan siswa juga harus dilatih untuk menyampaikan pesan atau anggapan terhadap pesan guru dengan baik, melalui bahasa lisan atau tulisan. Untuk itu mereka harus dilatih ketrampilan komunikasi dalam kelas, serta guru harus memfasilitasinya. Untuk itu, Hunt (Hunt, 1999:65) menyampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
a.       Siswa harus dilatih keterampilan membaca dalam konteks memahami pesan-pesan tertulis yang terdapat dalam bacaan.
b.      Siswa harus dilatih untuk mau dan mampu berbicara dengan baik, mereka harus tau didorong untuk berbicara, dan senantiasa memiliki sesuatu yang sangat penting untuk disampaikan pada guru, sehingga dia terlatih untuk menyampaikan pendapat dan pandangannya dengan baik.
c.       Guru harus menyediakan kesempatan bagi siswa untuk membiasakan menyampaikan pandangan, pendapat atau berbagai pertanyaan, baik dengan menggunakan bahasa tulis maupun lisan, sehingga mereka terus terlatih untuk menyusun bahasa lisannya.
d.      Guru juga harus menata ruangan kelas yang mendukung proses komunikasi kelas dengan baik, sehingga siswa terus terdorong untuk melakukan komunikasi verbal dengan gurunya.
e.       Guru juga harus dengan sabar mendengarkan penyampaian mereka, atau mempelajari bahasa tulis mereka serta memberi feed back untuk perbaikan kedepan.
Kemudian dari itu, sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa komunikasi guru dengan siswanya, juga bisa menggunakan model komunikasi nonverbal, yakni komunikasi yang tidak menggunakan kata-kata, tidak bisa didengar dan juga tidak bisa dibaca dalam uraian kata-kata tertulis. Komunikasi non-verbal hanya bisa dipahami dari berbagai isyarat gerakan anggota tubuh yang mengekpresikan sebuah pesan.

Komunikasi kinesics adalah komunikasi dengan menggunakan gerakan anggota tubuh, dan biasa bahkan terlalu sering untuk digunakan guru, seperti menganggungkan kepala tanda tidak setuju, atau ekspresi wajah menunjukkan rasa kaget dan yang sebangsanya. Kemudian komunikasi  proxemics masih dianggap sebagai sebuah komunikasi nonverbal yang efektif dengan membuat jarak antara tempat duduk guru dengan siswa, jarak antara siswa dan guru adalah jarak otoritas, siswa tidak boleh mendekati meja guru kecuali jika dipanggil, karena wilayah sekitar meja guru adalah otoritas guru. Sementara wilayah sekitar bagian siswa adalah wilayah siswa, yang jika guru mendatangi mereka dalam proses pembelajaran bermakna bahwa guru tertarik untuk melakukan supervisi atau bimbingan langsung untuk mereka. Adapun komunikasi heptics adalah komunikasi dengan menggunakan sentuhan seperti guru membelai undak siswanya bermakna bahwa dia sayang pada anak tersebut. Akan tetapi, hati-hati menggunakan sentuhan tangan karena tidak selamanya bermakna positif, terutama bagi anak-anak yang sudah pada usia sekolah menengah. Adapun komunikasi oculasics adalah komunikasi dengan menggunakan gerakan mata, seperti mata melotot menunjukkan permintaan perhatian siswa terhadap pelajaran, atau permintaan agar siswa meningkatkan perhatian pelajarannya. Komunikasi paralanguage adalah komuniaksi dengan menggunakan suara tanpa kata, seperti membunyikan mulut dengan suara tinggi, rendah atau sedang menunjukkan berbagai perintah yang berbeda. Nada rendah tanda setuju, nada tinggi tanda tidak setuju dan mohon perhatian. Pengaturan waktu oleh guru dalam menata waktu belajarnya secara tepat dan akurat membawa pesan pada siswa untuk belajar serius. Sebaliknya guru yang tidak mengatur waktunya akan membuat siswa kurang serius, dan mereka melakukan aktifitas kontra produktif. Itulah komunikasi chronemics. Demikian pula dengan environment yakni penataan lingkungan kelas. Kelas yang tercat teduh, bercahaya terang, memiliki herbarium yang membawa pesan-pesan edukatif, serta memiliki rak buku-buku pilihan yang bisa dibaca siswa, akan membuat siswa merasa kelas sebagai rumahnya yang kedua. Sementara kelas yang gersang, kumuh tanpa ada inspirasi belajar, sebenarnya kelas itu bicara pada siswanya. Anda tidak usah belajar disini, keluar saja main ditaman yang lebih enak. Suasana kelas itu berbicara pada siswa-siswa yang memasukinya.

3.      Guru Harus Mengembangkan Strategi Pembelajaran
Selain harus diawali dengan perencanaan yang bijak, serta didukung dengan kemampuan komunikasi yang baik, pembelajaran efektif juga harus didukung dengan pengembangan strategi yang mampu membelajarkan siswa, karena dalam belajar sistem penyampaian dan perintah, tidak semua siswa bisa terlibat dalam proses pengajaran tersebut, bahkan bisa terjadi mereka berada dalam kelas tetapi pikirannya sedang bekerja diluar kelas, karena yang bekerja dikelas tersebut adalah guru, dan murid disuruh untuk menyaksikan gurunya bekerja, dan mendengarkan yang diucapkannya serta melihat dan membaca yang dia tulis. Guru tidak bisa mengontrol intensitas siswa dalam menyerap bahan-bahan ajar tersebut. Untuk itulah, maka guru sebaiknya terus mengubah dan mengembangkan strategi agar mampu membuat siswa-siswa itu belajar.Dalam konteks ini, Kenneth D. Moore membagi pembelajaran pada tiga level, yaitu membelajarkan fakta, konsep dan kemampuan berfikir.[6]

Jerry Aldridge dan Renitta Goldman merekomendasikan, bahwa untuk peningkatan kualitas proses pembelajaran untuk peningkatan hasil belajar, seorang guru harus mengembangkan berbagai perlakuan sebagai berikut:
1)      Guru harus mampu menciptakan situasi kelas yang tenang, bersih, tidak stres, dan sangat mendukung untuk pelaksanaan proses pembelajaran.
2)      Guru harus menyediakan peluang bagi para siswa untuk mengakses seluruh bahan dan sumber informasi untuk belajar.
3)      Gunakan model cooperative learning (belajar secara koperatif yang tidak hanya belajar bersama, namun saling membantu satu sama lain) melalui diskusi kelompok-kelompok kecil, debat atau bermain peran. Biarkan siswa untuk berdiskusi dengan suara keras dalam kelompoknya masing-masing, dan biarkan saling bertukar informasi yang mereka dapatkan dari hasil akses informasinya.
4)      Hubungkan informasi baru pada sesuatu yang sudah diketahui oleh siswa, sehingga mudah untuk mereka dipahami.
5)      Dorong siswa untuk mengerjakan tugas-tugas penulisan makalahnya dengan melakukan kajian dan penelusuran pada hal-hal baru dan dalam kajian yang mendalam.
6)      Guru juga harus memiliki catatan-catatan kemajuan dari semua proses pembelajaran siswa, termasuk tugas-tugas individual dan kelompok mereka dalam bentuk portofolio.

4.   Guru Harus Mampu Menguasai Kelas
Penguasaan kelas ini, merupakan masalah bagi para guru di kota-kota besar yang menghadap siswa dengan keragaman latar belakang sosiokultur keluarga, serta perubahan wordview pada anak-anak yang sangat kaya dengan informasi. Diera demokratis saat ini, kekuatan guru bukan pada posisi sebagai penguasa kelas, tetapi pada kecakapan, kemampuan keilmuan serta pada kemampuan mereka mengelola kelas sehingga siap untuk belajar secara efektif. Guru menjaga wibawa, karena tidak semua siswa memiliki kultur marah atau dimarahi oleh orang tuanyadi rumah, sehingga jika ada guru marah dia akan kecewa, dan tidak bisa belajar secara efektif. Guru harus cerdas, menguasai bahab ajar dengan baik, selalu tampil energik, ceria dan optimistik, sehingga senantiasa menarik bagi siswa untuk belajar dengannya.[7]

Ada delapan langkah yang harus dilakukan guru agar mampu menguasai dan mengelola kelas dengan baik (Hunt, 1999: 158-64), yaitu:
1.      Persiapan yang cermat.
2.      Tetap menjaga dan terus mengembangkan rutinitas.
3.      Bersikap tenag dan penuh percaya diri.
4.      Bertindak dan bersikap profesional.
5.      Mampu mengeal prilaku yang tidak tepat.
6.      Menghindari langkah guru.
7.      Berkomunikasi dengan orang tua siswa secara efektif.
8.      Menjaga kemungkinan munculnya masalah.

Profesional guru bermakna:
1.      Dia harus konsisten berada di tengah- tengah siswanya dalam semua jadwal yang dibebankannya.
2.      Dia harus mampu menjaga hubungan dengan siswanya, tidak terlalu menjaga jarak sehingga ditakuti, tetapi juga tidak terlalu dekat sehingga tidak ada jarak dan dilecehkan oleh siswa-siswanya.
3.      Guru harus senantiasa berpakaian rapi, berkata baik, dan bersikap yang propesional sebagai guru sesuai dengan harapan-harapan masyarakat dan kolega guru lainnya.
4.      Guru juga harus bersikap fair terhadap siswa-siswanya, jangan karena kesalahan prilaku siswa hari kemarin, berakibat peada perlakuan dia terhadapnya pada hari-hari berikutnya.
5.      Terakhir guru harus mampu melaksanakan tugas-tugas keguuannya dengan penuh tanggung jawab. Seorang guru profesioanal aka senantiasa membuat perencanaan pembelajaran, membimbing siswa-siswanya belajar, serta melakukan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar siswa-siswanya untuk menentukan perencanaan pembelajaran berikutnya.

Ada tujuh langkah yang harus dilakuka guru agar dapat menjaga kemungkinan gangguan kelas oleh siswa sendiri, yaitu:
1.      Penantaan kelas secara fisik harus terlihat nyaman untuk belajar.
2.      Kurikulum harus tersusun berbasis pada tingkat kemampuan siswa.
3.      Sikap guru yang tenang, antusias, penuh optimistik, akrab namun tetap menjaga dignity keguruannya.
4.      Kemampuan guru yang selalu menjadi harapan siswa dan mampu membuktikan bahwa dia dapat memenuhi harapan mereka.
5.      Sistem yang dikembangkan di sekolah mendukung bagi guru untuk mengembangkan pengelolaan elas yang efektif, seperti sistem administrasi akademik memungkinkan guru untuk mengembangkan berbagai inovasi pembelajaran, dan terkomunikasi dengan baik pada orang tua.
6.      Membuat perencanaan untuk hal-hal atau kejadian-kejadian yang tak terduga, umpanya tiba-tiba dia tidak bisa masuk kekelas karena sakit atau halangan yang lainnya, pembelaajaraan di kelasnya terus berjalan, dengan tidak melakukan pengulangan yang tidak perlu, tetapi guru sudah mempersiapkannya dan guru lain menjalakan persiapan tersebut.
7.      Penampilan mengajar yang dapat diterima semua siswa, kelas terkelola dangan baik, penyampaian guru jelas dan mudah dipahami, serta semua siswa merasa at home dalam kelasnya, tidak ada yang merasa terpinggirkan, dan sebaliknya tidak ada yang merasa menjadi kesayangannya.n semua merasa senang dan tenang dalam kelasnya.

5.      Guru Harus Melakukan Evaluasi Secara Benar
Kelas yang baik tidak cukup hanya didukung oleh perencanaan pembelajaran, kemampuan guru mengembangkan proses pembelajaran serta penguasaannya terhadap bahan ajar, dan juga tidak cukup dengan kemampuan guru menguasai kelas, tanpa diimbangi dengan kemampuan melakukan evaluasi terhadap pencapaian kompetensi siswa, yang sangat melakukan dalam konteks perencanaan berikutnya, atau kebijakan perlakuan terhadap siswa terkait dengan konsep belajar tuntas.

Menurut Norman E. Gronlund dan Robert L. Linn menyampaikan lima prinsip umum dalam evaluasi (Gronlund, 1990: 6-8), yaitu:
1.      buatlah spesifikasi secara jelas tentang apa-apa yang akan di evaluasi, spesifikasi tersebut akan memudahkan dalam penentuan alat yang akan digunakan.
2.      Teknik evaluasi harus diseleksi khususnya tentang relevensi teknik tersebut dengan performa karakter yang akan diukur.
3.      Evaluasi yang komprehensif dan holistik menuntut variasi teknik.
4.      Penggunaan teknik-teknik evaluasi yang tepat menuntut perhatian akan terbatas masing-masing teknik tersebut, yakni walaupun instrumennya sudah tepat, tetapi belum tentu item-itemnya itu reliabel dan valid. Kemudian, kalaupun sudah sangat baik instrumennya tersebut, masih bisa terjadi ktidak tepatan hasil evaluasi, umpamanya, siswa mengisi soal dengan menebak bukan dengan pengetahuan dan keyakinannya, kemudian dalam tes subjektif guru memberi angka dengan pertimbangan subjektifnya, apalagi dengan instrumen pengamatan. Akhirnya tidak ada tes yang secara total akurat, pasti ada kekurangan, dan tugas guru adalah menekan kekurangan-kekurangan tersebut sampai pada tiik minimal.
5.      Evaluasi adalah alat menuju sebuah akhir, bukan akhir itu sendiri. Akhir dari sebuah proses pembelajaraan adalah pencapaian tujuan dengan terwujudnya indikator kompetensi pada siswa. Penggunaan teknik-teknik evaluasi akan dapat menetapkan bahwa kompetensi tertentu telah tercapai, dan komptensi tertentu lainnya belum tercapai, sehingga pengguna evaluasi tersebut menjadi sadar dengan berbagai kelemahannya itu. Dengan demikian, evaluasi adalah cara terbaik untuk memperoleh informasi dalam rangka pengambilan keputusan selanjutnya.[8]


1.2.                        Strategi dan Metode Pengajaran

A.    Keterampilan membuka dan menutup pelajaran
Keterampilan membuka dan menutup pelajaran merupakan keterampilan dasar mengajar yang harus dikuasai dan dilatihkan bagi calon guru agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang secara efektif.

B.     Membuka pelajaran
Yang dimaksud dengan keterampilan membuka pelajaran adalah kegiatan guru pada awal pelajaran untuk menciptakan suasana “siap mental” dan menimbilkan perhatian siswa agar terarah pada hal-hal yang akan dipelajari.
      Membuka pelajaran dilakukan tidak hanya di setiap awal pelajaran, tetapi pada setiap penggal awal dan akhir pelajaran atau setiap kali beralih ke hal atau topik baru misalnya, dari penggal pengertian sholat beralih kepenggal syarat dan rukun sholat, dan seterusnya. Beberapa cara yang dapat diusahakan guru dalam membuka pelajaran:
1.      Menarik perhatian siswa,
2.      memotivasi siswa,
3.      memberi acuan / struktur pelajaran dengan menujukan tujuan atau kompetensi dasar atau indikator hasil belajar, serta pokok persoslaan yang akan dibahas,
4.      mengaitkan antara topik yang sudah dikuasai dengan topik yang baru,
5.      menanggapi situasi kelas

C.     Prinsip-prinsip penerapan membuka pelajaran
1.      Prinsip bermakna, Artinya cara guru dalam memilih komponen keterampilan membuka pelajaran mempunyai nilai yang sangat tepat bagi siswa dalam mengondisikan kesiapan dan ketertarikan siswa untuk mengikuti pelajaran.
2.      Kontinu / berkesinambungan, atinya antara gagasan pembukaan pokok bahasan tidak terjadi garis pemisah.
3.      Fleksibel / penggunaan tidak kaku, maksudnya penggunaan gagasa tidak terputus-putus atau lancar.
4.      Antusias dan kehangatan dalam mengomunikasikan gagasan
Dengan antusias guru dalam mengomunikasikan gagasan pembuka , mendorong anak untuk menilai  bahwa poko bahasan yang akan dipelajari mempunyai arti yang penting. Begitu juga dengan sikap hangat yang ditampilkan oleh guru akan melahirkan respon terbuka, akrab, dan simpatik dari anak, tidak ada rasa tertekan sehingga timbulnya kreatifitas anak. Kebalikannya, penyajian gagasan pembuka dengan sikap otoriter dapat menimbulkan respon tertutup. Apalagi dalam lontaran ancaman, anak akan bereaksi negatif dan belajar dengan perasaan tertekan. Contoh antusias dan kehangatan: dapat ditunjukan misalnya bertanya kabar pesrta didik, menanyakan mengapa teman teman mereka tidak bisa masuk, atau bercerita sedikit yang dapat menyentuh perasaan atau yang lain yang menujukan rasa simpati dan empati.

5.      Prinsip-prinsip dan teknis penggunaan keterampilan membuka pelajaran.
 Antara lain:
1.      Singkat, padat dan jelas
2.      Keterampilan tidak berulang-ulang atau berbelit-belit
3.      Menggunakan bahasa yang mudah dipahami
4.      Disertai contoh atau ilustrasi seperlunya
5.      Mengikat perhatian anak.

D.    Menutup pelajaran
Yang dimaksud dengan menutup pelajaran bukanlah mengucapkan salam penutup dan membaca hamdalah atau do’a pada setiap selesai kegiatan pembelajaran, karna kegiatan-kegiatan tersebut memang sudah seharusnya dilakukan setiap mengakhiri kegiatan pembelajaran. Akan tetapi yang dimaksud keterampilan menutup pelajaran adalah kegiatan guru untuk mengakhiri pelajaran dengan mengemukakan kembali pokok- pokok pelajaran supaya siswa memperoleh gambaran yang utuh tentang pokok-pokok materi dan hasil belajar yang telah dipelajari.
Beberapa cara yang dilakukan oleh guru untuk menutup pelajaran antara lain adalah:
1.      Merangkum atau meringkas inti pokok pelajaran,
2.      Memberikan dorongan psikologis atau sosial kepada siswa
3.      Memberi petunjuk untuk pelajaran/ topik berikutnya,
4.      Mengadakan evaluasi tentang materi pelajaran.[9]





















BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan

Menciptakan kelas efektif dengan peningkatan efektivitas proses pembelajaran tidak bisa dilakukan dengan parsial, tetapi harus holistik, yang dalam teori Hunt ada lima bagian penting dalam peningkatan efektivitas pembelajaraan, yaitu perencanaa, komunikasi, pengajaran, pengaturan dan evaluasi (Hunt, 1999:21). Namun Kenneth D. Moore, mengembakannya menjadi tujuh langkah peningkatan pembelajaran efektif, yakni dari mulai perencanaa, perumusan berbagai tujuan, pemaparan perencanaan pemelajaran pada siswa, proses pembelajaran dengan menggunkan berbagai strategi, penutupan proses pembelajaran dan evaluasi, yang memberi feed back untuk perencangan berikutnya.
1)      Guru Harus Menyusun Perencanaan Pembelajaran Yang Bijak
2)      Guru Harus Mampu Berkomunikasi secara Efektif dengan Siswa-Siswanya
3)      Guru Harus Mengembangkan Strategi Pembelajaran
4)      Guru Harus Mampu Menguasi Kelas
5)      Guru Harus Melakukan Evaluasi Secara Benar

Strategi dan Metode Pengajaran
a.       Keterampilan membuka dan menutup pelajaran
b.      Membuka pelajaran
c.       Prinsip-prinsip penerapan membuka pelajaran
d.      Menutup pelajaran

3.2. Saran

Dalam penulisan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya dn dari segi isi juga masih perlu ditambahkan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar dapat memberikan kritikan dan masukan yang bersifat membangun.


DAFTAR PUSTAKA
Rosyada Dede. 2013. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana.
Marno, M. Idris. 2010. Strategi dan Metode pengajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.































[1] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Strategi (Jakarta: 2013). hlm. 119
[2] Ibid. hlm. 120
[3] Ibid. hlm. 132
[4] Ibid. hlm. 139
[5] Ibid. hlm. 145
[6] Ibid. hlm. 151
[7] Ibid. hlm. 175
[8] Ibid. hlm. 181

[9] Marno. M Idris, Strategi dan metode pengajaran (jakarta: 2010) hlm. 82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar