BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menciptakan
kelas efektif dengan peningkatan efektivitas proses pembelajaran tidak bisa
dilakukan dengan parsial, tetapi harus holistik, yang dalam teori Hunt
ada lima bagian penting dalam peningkatan efektivitas pembelajaraan, yaitu
perencanaa, komunikasi, pengajaran, pengaturan dan evaluasi (Hunt, 1999:21).
Namun Kenneth D. Moore, mengembakannya menjadi tujuh langkah peningkatan
pembelajaran efektif, yakni dari mulai perencanaa, perumusan berbagai tujuan,
pemaparan perencanaan pemelajaran pada siswa, proses pembelajaran dengan
menggunkan berbagai strategi, penutupan proses pembelajaran dan evaluasi, yang
memberi feed back untuk perencangan berikutnya.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mengefektivitaskan pembelajaran dalam kelas?
2. Bagaimana guru menyusun perencanaan pembelajaran yang bijak?
3. Bagaimana guru mampu berkomunikasi secara efektif denagan siswa-siswanya?
4. Bagaimana guru mengembangkan strategi pembelajaran?
5. Bagaimana guru mampu menguasai kelas?
6. Bagaimana guru melakukan evaluasi secara benar?
7. Bagaimana strategi dan metode pengajaran?
1.3. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui cara mengefektifitaskan pembelajaran dalam kelas.
2. Untuk mengetahui guru menyusun perencanaan pemelajaran yang bijak.
3. Untuk mengetahui guru mampu berkomunikasi secara efektif.
4. Untuk mengetahui guru mengembangkan pembelajaran.
5. Untuk mengetahui guru mampu menguasai kelas.
6. Untuk mengetahui guru melakukan evaluasi secara benarr.
7. Untuk mengetahui strategi dan metode pengajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Meningkatkan Efektivitas Pembelajaraan
Mengajar itu efektif, jika pembelajar mengalami berbagai
pengalamaan baru dan perilakunya menjadi berubah menuju titik akumulasi
kompotensi yang dikehendaki. Akan tetapi,
idealitas tersebut tidak akan tercapai jika tidak melibatkan siswa dalam
perencanaan dan proses pembelajaraan. Mereka harus dilibatkan secara penuh agar
bergairah dan tidak ada yang tertinggal, karena proses tersebut akan membuat
perhatian guru menjadi individual. Jika itu berjalan, maka semua siswa akan
mencapai kommpetensi harapannya, kecintaan mereka pada sekolah akan tumbuh, dan
mereka benar-benar menjadi anak terpelajar, beradab dan menaati berbagai aturan
yang berlaku di masyarakat.
Menciptakan
kelas efektif dengan peningkatan efektivitas proses pembelajaran tidak bisa
dilakukan dengan parsial, tetapi harus holistik, yang dalam teori Hunt
ada lima bagian penting dalam peningkatan efektivitas pembelajaraan, yaitu
perencanaan, komunikasi, pengajaran, pengaturan dan evaluasi (Hunt, 1999:21).
Namun Kenneth D. Moore, mengembangkannya menjadi
tujuh langkah peningkatan pembelajaran efektif, yakni dari mulai perencanaan,
perumusan berbagai tujuan, pemaparan perencanaan pembelajaran
pada siswa, proses pembelajaran dengan menggunkan berbagai strategi, penutupan
proses pembelajaran dan evaluasi, yang memberi feed back untuk perancangan
berikutnya.
Hunt
dan Moore sebenarnya berbicara fokus yang sama, hanya saja Hunt lebih
menyederhanakan topik, sementara Moore menuraikan sebagian topik, seperti
perencanaa dibagi menjadi dua, yaitu penetapatan topic yang akan diajarkan
dengan perumusan tujuan pembbelajaran. Demikian pula evaluasi diurai dengan dua
kegiatan penutupan dan evaluasi. Pada hakikatnya Hunt dan Moore membahas topic
dan kisaran persoalan yang sama, bahwa guru efektif itu harus memulai dengan
perencanaan pembelajaran, lalu mengomunikasikan perencanaan tersebut dengan client-nya,
yaitu siswa, kemudian menyelengarakan proses pembelajaraan mengelola kelas sehingga
efektif, dan terakhir melakukan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar,
yang hasil akan menjadi input untuk perencaanaan berikutnya.[1]
1.
Guru Harus Menyusun Perencanaan Pembelajaran Yang Bijak
Mengajar merupakan pekerjaan akademis dan professional. Namun
anehnya, banyak para pengajar yang tidak mencermikan kedua karekteristik
pekerjaannya, mereka masuk kelas tanpa mempersiapkan perencanaan sama sekali,
karena dianggap bahwa mengajar merupakan pekerjaan rutin yang setiap hari
dikerjakan dengan karekter murid yang setiap tahun sama, serta kurikulum dan
bahan ajar yang sama pula. Dengan demikian, para guru tersebut mengajar sesuai
yang mereka ingat, tanpa memeperhatikan tingkat kompetensi anaksaat dia akan
memulai mengajar, karena tidak memiliki ukuran hasil evaluasi hari-hari
sebelumnya, dan juga mengajar sesuai rasa keraguannya tanpa memerhatikan apa
yang diperlukan siswa untuk dipelajari hari itu.
Dalam upaya meningkatkan efektivitas proses pembelajaran untuk
mencapai hasil belajar terbaik sesuai harapan, perencanaan pembelajaran
merupakan sesuatu yang mutlak harus dipersiapkan setiap guru akan melaksanakan
proses pembelajaran, walaupun belum tentu semua yang direncanakan akan dapat
dilaksanakan, karena bisa terjadi kondisi kelas merefleksikan sebuah permintaan
yang berbeda dari rencana yang sudah dipersiapkan, khususnya tentang strategi
yang sikapnya opsional. Namun demikian, guru tetap diharapkan mampu menyusun
perencana yang lebih sempurna, sesuai dengan kebutuhan siswa, sehinggaa semua
siswa bisa mengikuti proses kegiatan belajar sesuai harapan, semua siswa bisa
memahami bahan-bahan ajar yang ditawarkan, semua siswa bisa memperoleh berbagai
pengalaman baru dan menambah kompetensinya sesuai hasil belajar mereka.
Untuk dapat membuat perencanaan yang baik dan dapat
menyelenggarakan proses pembelajaran yang ideal, setiap guru harus mengetahui
unsur-unsur perencanaan pembelajaran yang baik, antara lain, kebutuhan siswa,
tujuan yang dapat dicapai, berbagai strategi yang relevan digunakan untuk
mencapai tujuan tersebut, dan criteria evaluasi (Hunt, 1999: 24). Bersama
dengan itu, peran guru dalam mengembangkan strategi amat penting, karena
aktivitas siswa belajar sangat dipengaruhi oleh sikap dan perilaku guru dalam
kelas. Jika mereka antusias, memerhatika aktivitas dan kebutuhan siswa, maka
siswa-siswa tersebut pun akan mengembakan aktivitas belajarnya dengan baik,
antusias, giat, dan serius.
1)
Perencanaan untuk Mengapresiasi Keragaman
Bagian
pertama yang benar-benar harus dianalisis oleh guru adalah kebutuhan
siswa, karena daya serap dan kemampuan
siswa dalam kelas itu berbeda-beda. Tidak mungkin 40 siswa memiliki internal
indeks kemampuan yang memiliki rata-rata dalam interval yang sama. Bagaimana
guru menyikapi keraguan tersebut, apakah siswa yang tertinggal akan diibaratkan
dalam ketertinggalannya, dan dipaksa untuk bisa dan dipaksa untuk dapat
mengikuti irama belajar yang tingkat akselarasi pemahamannya tinggi. Tentu
sikap tersebut tidak bijak, maka guru harus dengan naluri keguruannya mampu
membuat perencanaan yang peduli terhadap berbagai perbedaan yang berkembang di
kalangan siswanya. Bagaimana guru mengembangkan perlakuan terhadap mereka yang
memiliki tingkat kemampuan tinggi, dan bagaimana mengembangkan perlakuan bagi
mereka yang memiliki tingkat kemampuan rendah, atau dengan tingkat kemampuan
rata-rata. Guru tidak boleh membiarkan satupun siswanya tertinggal.[2]
Persoalan
yang dihadapi guru sangat realistis, bahwa dalam kelasnya, dalam mata
pelajarannya terhadap indeks perbedaan kemampuan belajar siswa, baik
dipengaruhi oleh faktor genitik, lingkungan belajar maupun pengalaman belajar
sebelumnya. Bagaimana menghadapi siswa-siswa dengan kemampuan belajar tinggi.
Siswa-siswa dengan tingkat kemampuan tinggi memiliki permintaan perlakuan
belajar yang berbeda dari lainnya. Demikian pula, siswa-siswa dengan tingkat
kemampuan rendah, yang menuntut perlakuan berbeda, karena mereka punya hak yang
sama untuk memperoleh kompetensi sesuai yang telah disepakati melalui perumusan
kurikulum.
Menurut Hunt (Hunt, 1999: 27) merekomendasikan agar guru
membiarkan siswa yang berkemampuan tinggi untuk menyelesaikan tugas-tugas
dasarnya sesuai waktu yang dia butuhkan, lalu memberi berbagai pengayaan atau
melakukan aktivitas lain sesuai kebutuhan belajar. Setidaknya ada empat prinsip pokok dalam mnghadapi keragaman
berbasis tingkat kemampuan siswa belajar, yaitu:
a.
Biarkan
siswa yang berkemampuan tinggi untuk menyelesaikan tugas-tugsnya dalam waktu
singkat, dan biarkan dia memperdalam pemahamanannya dalam topik yang sama.
b.
Hilangkan
kemungkinan meningkatnya waktu terbuang dalam proses pembelajaran selama masa
studi siswa.
c.
Biarkan
guru menghabiskan waktunya lebih lama untuk memberi bantuan penjelsan bagi
siswa yang rendah tingkat kemampuan belajarnya.
d.
Beri
peluang siswa-siswa yang mempunyai berkemampuan tinggi untuk menyelesaikan
target kurikulernya lebih cepat, sehingga mereka lebih memiliki waktu lebih
untuk pengembangan pengalaman dan kemampuan keilmuannya, baik dengan melakukan
tutorial bagi teman sekelas memiliki kemampuan rendah maupun untuk melakukan
kegiatan mandiri yang terarah, dengan assignment guru.
Menurut Donald P. Kauchak merekomendasikan, untuk menghadapi
keragaman kemampuan siswa dalam belajar, seorang guru memiliki banyak pilihin,
di antaranya (Kauchak, 1998: 29):
a.
Ciptakan
rancangan kelas yang multidimensional, dan buat juga rancangan proses
pembelajaran yang menggambarkan keragaman kemampuan belajar tersebut.
b.
Buat
rancangan waktu belajar yang fleksibel. Beri kelonggaran waktu bagi
siswa dengan kemampuan rendah untuk bisa menyelesaikan tugas-tugasnya.
c.
Kelompokan
siswa berdasarkan basis kemampuannya. Dengan cara ini bisa memungkin guru untuk
mengajar sesuai basis kemampuan siswa-siswana, dengan tanpa mengabaikan
perlakuan terhadap kelompok lainnya.
d.
Persiapkan
strategi pembelajaran untuk kelompok yang lamban dengan strategi-strategi yang
tidak saja akan mengantarkan mereka memahami tugas-tugasnya, tetapi juga akan
mampu meningkatkan kemampuan belajar mereka.
e.
Gunakan
toutorial sebaya dan belajar bersama untuk menambah kemampuan dan pengalaman
mereka masing-masing, setidaknya dalam interaksi sosial.
2)
Merumuskan Tujuan atau Kompetensi
Pendidikan
selalu berakhir dengan kompetensi, yakni kecakapan atau kemampuan. Kompetensi
lulusan merupakan rumusan kompetensi umum yang menggambarkan akumulasi
integral berbagai kecakapan serta kemampuan yang akan dimiliki siswa
setelah mereka selesai dan lulus dari sekolah tersebut,, dengan rumusan utuh holistik
dan menggambarkan konsep yang terpadu anatr berbagai kompetensi partialnya.
Sementara
untuk kompetensi pelajaran sudah merupakan wilayah guru yang dikoordinasikan
oleh manajemen sekolah untuk mendiskusikannya dengan komite sekolah, dalam
rangka penyerap ide, permintaan serta berbagai hasil analisis objektif dari
para ahli pendidikan dan pengguna lulusan yang tergabung dalam komite tersebut,
serta berbagai penguatan dari sekolah yang akan dijadikannya sebagai program
unggulan dari sekolah yang bersangkutan. Strukturisasi ide-ide dalam bentuk
format sylabus atau course out line sudah merupakan tugas guru mata
pelajaran yang bersangkutan yang dibahas dalam rumpun guru mata pelajaran
sejenis di sekolah tersebut. Mereka menyusun sekwensi dan skope
kompetensi siswa serta berbagai pokok bahasan dan materi pelajaran yang perlu
disusun untuk mencapai berbagai kompetensi sesuai rumusan.
Kurikulum
operasional inilah yang kemudian diturunkan dalam bentuk perencanaan
pembelajaran (lesso plan), yang harus disusun oleh guru dengan
memperhatikan berbagai variable sebagaimana telah dikemukakan di atas, yakni
keragaman siswa, baik dalam tingkat kemampuan mereka menyerap bahan ajar,
keragaman basis kultur mereka, kebiasaan lingkungan belajar siswa, ketahan
mereka menyerap bahan ajar, kebiasan mereka untuk belajar bersama dalam
kelompok atau kebiasaan fisikal mereka dalam belajar. Sekali lagi, tidak
mungkin guru dapat menyusun perencanaan yang bisa diterima oleh semua siswa,
sehingga mereka dapat meningkmati proses belajarnya, dan dapat menghasilkan berbagai
perubahan yang berarti.[3]
3)
Menyusun Rencana Implementasi Pembelajaran dalam Kelas
Perencanaan
pembelajaran yang baik tidak menjadi jaminan akan mampu menciptakan kelas atau
pembelajaran yang efektif, karena sangat tergantung pada berbagai variable yang
akan berkontribusi terhadap pelaksanaan perencanaan tersebut secara efektif. Namun pembelajaran yang baik atau yang efektif tidak akan pernah
terwujud tanpa sebuah perencanaan yang baik. Model perencanaan di atas, baru
sampai perumusan indikator-indikator kompetensi yang
bisa dijangkau dengan proses pembelajaran materi tertentu. Namun perencanaan
tersebut belum menjangkau bagaimana rencana operasional 90 menit bersama siswa,
apa dahulu yang akan dikerjakan guru di hadapan siswa-siswanya itu, apa dahulu
yang akan mereka kerjakan dalam lima menit pertama, kemudian lima menit
berikutnya, dan seterusnya, sampa mereka menghabiskan waktu 90 menit, dan telah
membuat banyak perubhan pada perilaku siswa.[4]
2.
Guru Harus Mampu Berkomunikasi secara Efektif dengan Siswa-Siswanya
Guru adalah seorang komunikator karena dia akan menyampaikan
rencana-rencana pembelajaran pada siswa, kemudian dia juga akan mengatur siswa
dalam kelasnya dari awal masuk kelas sampai mengakhiri kelas, dan dia juga akan
menjelaskan bahan-bahan ajar pada siswa, bahkan akan harus menjelaskan berbagai
bahan ajar yang belum dipahami siswa dengan baik, guru juga akan menjelaskan
berbagai perbaikan dari tugas-tugas siswa, menjelaskan berbagai aktifitas
belajar besok, dan yang akan datang. Semua aktifitas guru terkait dengan
komunikasi. Dalam konteks apapun tugas guru membutuhkan kemampuan komunikasi
dengan baik, termasuk mengomunikasikan program-program kelasnya terhadap komite
sekolah atau orang tua siswa.
Komunikasi adalah sebuah proses yang terus
berkembang karena bukan sesuatu pekerjaan yang terisolasi dari kejadian,
padahal kejadian itu terus berubah mengikuti perubahan yang dilakukan manusia
sendiri. Dalam teori yang amat tradisional, menurut Hunt dikemukakan bahwa
unsur-unsur pokok dari komunikasi adalah pesan sasaran komunikasi, sumber dan
media (Hunt, 1999: 62), dalam konteks komunikasi kelas, pesan adalah bahan ajar
yang akan disampaikan, instruksi-instruksi untuk pelaksanaan proses
pembelajaran tugas-tugas dan rencana-rencana kegiatan lainnya. Adapun sarana
komunikasi adalah siswa, sumber pesan adalah guru, sedangkan media komunikasi
adalah pesan guru, sedangkan media komunikasi adalah bahasa atau simbol lain
yang digunakan untuk penyampaian pesan.[5]
Komunikasi guru pada siswa ada dua macam,
yaitu komunikasi verbal adalah komunikasi dengan kata, baik diucapkan maupun
ditulis. Ada empat kosa kata yang berkaitan
dengan bahasa verbal yaitu membaca, mendengar, menulis, dan mengucapkan.
Keempat bentuk komunikasi ini mengunakan media kata. Problematika komunikasi
verbal adalah pada bahasa yang digunakan, karena tidak semua kata bermakna
konkret. Ketika komunikasi itu menggunakan kata-kata yang bermakna pasti, yakni
hanya bermakna satu dan tidak interpretatif, maka akan semakin efektif
komunikasi. Karena pesan tersampaikan secara benar dan pasti. Sementara jika
kata yang interpreatif yang dipakai, maka bisa jadi enerima pesan memakna lain
dari pemesan. Dengan demikian, semakin konkret bahasa yang digunakan, maka akan
semakin efektif pesan itu tersampaikan. Dan semakin abstrak bahasa yang
digunakan, maka semakin sukar pesan itu tersampaikan. Dengan demikian dalam
proses pembelajaran, sebaiknya menggunakan kata-kata yang tidak bermakna ganda
sehingga dipahami sama antara guru dengan siswa.
Kemudian siswa juga harus dilatih untuk bisa memahami pesan-pesan
verbal baik melalui kegiatan mendengar maupun membaca. Dan siswa juga harus
dilatih untuk menyampaikan pesan atau anggapan terhadap pesan guru dengan baik,
melalui bahasa lisan atau tulisan. Untuk itu mereka harus dilatih ketrampilan
komunikasi dalam kelas, serta guru harus memfasilitasinya. Untuk itu, Hunt
(Hunt, 1999:65) menyampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
a.
Siswa
harus dilatih keterampilan membaca dalam konteks memahami pesan-pesan tertulis
yang terdapat dalam bacaan.
b.
Siswa
harus dilatih untuk mau dan mampu berbicara dengan baik, mereka harus tau
didorong untuk berbicara, dan senantiasa memiliki sesuatu yang sangat penting
untuk disampaikan pada guru, sehingga dia terlatih untuk menyampaikan pendapat
dan pandangannya dengan baik.
c.
Guru
harus menyediakan kesempatan bagi siswa untuk membiasakan menyampaikan
pandangan, pendapat atau berbagai pertanyaan, baik dengan menggunakan bahasa
tulis maupun lisan, sehingga mereka terus terlatih untuk menyusun bahasa
lisannya.
d.
Guru
juga harus menata ruangan kelas yang mendukung proses komunikasi kelas dengan
baik, sehingga siswa terus terdorong untuk melakukan komunikasi verbal dengan
gurunya.
e.
Guru
juga harus dengan sabar mendengarkan penyampaian mereka, atau mempelajari
bahasa tulis mereka serta memberi feed back untuk perbaikan kedepan.
Kemudian dari itu, sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa
komunikasi guru dengan siswanya, juga bisa menggunakan model komunikasi
nonverbal, yakni komunikasi yang tidak menggunakan kata-kata, tidak bisa
didengar dan juga tidak bisa dibaca dalam uraian kata-kata tertulis. Komunikasi
non-verbal hanya bisa dipahami dari berbagai isyarat gerakan anggota tubuh yang
mengekpresikan sebuah pesan.
Komunikasi
kinesics adalah komunikasi dengan menggunakan gerakan anggota tubuh, dan biasa
bahkan terlalu sering untuk digunakan guru, seperti menganggungkan kepala tanda
tidak setuju, atau ekspresi wajah menunjukkan rasa kaget dan yang sebangsanya.
Kemudian komunikasi proxemics
masih dianggap sebagai sebuah komunikasi nonverbal yang efektif dengan membuat
jarak antara tempat duduk guru dengan siswa, jarak antara siswa dan guru adalah
jarak otoritas, siswa tidak boleh mendekati meja guru kecuali jika dipanggil,
karena wilayah sekitar meja guru adalah otoritas guru. Sementara wilayah sekitar bagian siswa adalah wilayah siswa, yang
jika guru mendatangi mereka dalam proses pembelajaran bermakna bahwa guru
tertarik untuk melakukan supervisi atau bimbingan langsung untuk mereka. Adapun
komunikasi heptics adalah komunikasi dengan menggunakan sentuhan seperti
guru membelai undak siswanya bermakna bahwa dia sayang pada anak tersebut. Akan
tetapi, hati-hati menggunakan sentuhan tangan karena tidak selamanya bermakna
positif, terutama bagi anak-anak yang sudah pada usia sekolah menengah. Adapun
komunikasi oculasics adalah komunikasi dengan menggunakan gerakan mata,
seperti mata melotot menunjukkan permintaan perhatian siswa terhadap pelajaran,
atau permintaan agar siswa meningkatkan perhatian pelajarannya. Komunikasi
paralanguage adalah komuniaksi dengan menggunakan suara tanpa kata, seperti
membunyikan mulut dengan suara tinggi, rendah atau sedang menunjukkan berbagai
perintah yang berbeda. Nada rendah tanda setuju, nada tinggi tanda tidak setuju
dan mohon perhatian. Pengaturan waktu oleh guru dalam menata waktu belajarnya
secara tepat dan akurat membawa pesan pada siswa untuk belajar serius.
Sebaliknya guru yang tidak mengatur waktunya akan membuat siswa kurang serius,
dan mereka melakukan aktifitas kontra produktif. Itulah komunikasi chronemics.
Demikian pula dengan environment yakni penataan lingkungan kelas. Kelas yang
tercat teduh, bercahaya terang, memiliki herbarium yang membawa pesan-pesan
edukatif, serta memiliki rak buku-buku pilihan yang bisa dibaca siswa, akan
membuat siswa merasa kelas sebagai rumahnya yang kedua. Sementara kelas yang
gersang, kumuh tanpa ada inspirasi belajar, sebenarnya kelas itu bicara pada
siswanya. Anda tidak usah belajar disini, keluar saja main ditaman yang lebih
enak. Suasana kelas itu berbicara pada siswa-siswa yang memasukinya.
3.
Guru Harus Mengembangkan Strategi Pembelajaran
Selain harus diawali dengan perencanaan yang
bijak, serta didukung dengan kemampuan komunikasi yang baik, pembelajaran
efektif juga harus didukung dengan pengembangan strategi yang mampu
membelajarkan siswa, karena dalam belajar sistem penyampaian dan perintah,
tidak semua siswa bisa terlibat dalam proses pengajaran tersebut, bahkan bisa
terjadi mereka berada dalam kelas tetapi pikirannya sedang bekerja diluar
kelas, karena yang bekerja dikelas tersebut adalah guru, dan murid disuruh
untuk menyaksikan gurunya bekerja, dan mendengarkan yang diucapkannya serta
melihat dan membaca yang dia tulis. Guru
tidak bisa mengontrol intensitas siswa dalam menyerap bahan-bahan ajar
tersebut. Untuk itulah, maka guru sebaiknya terus mengubah dan mengembangkan
strategi agar mampu membuat siswa-siswa itu belajar.Dalam konteks ini, Kenneth
D. Moore membagi pembelajaran pada tiga level, yaitu membelajarkan fakta,
konsep dan kemampuan berfikir.[6]
Jerry Aldridge dan Renitta Goldman merekomendasikan, bahwa untuk
peningkatan kualitas proses pembelajaran untuk peningkatan hasil belajar,
seorang guru harus mengembangkan berbagai perlakuan sebagai berikut:
1)
Guru
harus mampu menciptakan situasi kelas yang tenang, bersih, tidak stres, dan sangat
mendukung untuk pelaksanaan proses pembelajaran.
2)
Guru
harus menyediakan peluang bagi para siswa untuk mengakses seluruh bahan dan
sumber informasi untuk belajar.
3)
Gunakan
model cooperative learning (belajar secara koperatif yang tidak hanya belajar
bersama, namun saling membantu satu sama lain) melalui diskusi
kelompok-kelompok kecil, debat atau bermain peran. Biarkan siswa untuk
berdiskusi dengan suara keras dalam kelompoknya masing-masing, dan biarkan
saling bertukar informasi yang mereka dapatkan dari hasil akses informasinya.
4)
Hubungkan
informasi baru pada sesuatu yang sudah diketahui oleh siswa, sehingga mudah
untuk mereka dipahami.
5)
Dorong
siswa untuk mengerjakan tugas-tugas penulisan makalahnya dengan melakukan
kajian dan penelusuran pada hal-hal baru dan dalam kajian yang mendalam.
6)
Guru
juga harus memiliki catatan-catatan kemajuan dari semua proses pembelajaran
siswa, termasuk tugas-tugas individual dan kelompok mereka dalam bentuk
portofolio.
4. Guru
Harus Mampu Menguasai Kelas
Penguasaan kelas ini, merupakan masalah bagi
para guru di kota-kota besar yang menghadap siswa dengan keragaman latar
belakang sosiokultur keluarga, serta perubahan wordview pada anak-anak
yang sangat kaya dengan informasi. Diera demokratis saat ini, kekuatan guru
bukan pada posisi sebagai penguasa kelas, tetapi pada kecakapan, kemampuan
keilmuan serta pada kemampuan mereka mengelola kelas sehingga siap untuk
belajar secara efektif. Guru menjaga wibawa, karena tidak semua siswa memiliki
kultur marah atau dimarahi oleh orang tuanyadi rumah, sehingga jika ada guru
marah dia akan kecewa, dan tidak bisa belajar secara efektif. Guru harus
cerdas, menguasai bahab ajar dengan baik, selalu tampil energik, ceria dan
optimistik, sehingga senantiasa menarik bagi siswa untuk belajar dengannya.[7]
Ada delapan langkah yang harus dilakukan guru
agar mampu menguasai dan mengelola kelas dengan baik (Hunt, 1999: 158-64),
yaitu:
1. Persiapan yang cermat.
2. Tetap menjaga dan terus mengembangkan rutinitas.
3. Bersikap tenag dan penuh percaya diri.
4. Bertindak dan bersikap profesional.
5. Mampu mengeal prilaku yang tidak tepat.
6. Menghindari langkah guru.
7. Berkomunikasi dengan orang tua siswa secara efektif.
8. Menjaga kemungkinan munculnya masalah.
Profesional guru bermakna:
1. Dia harus konsisten berada di tengah- tengah siswanya dalam semua jadwal
yang dibebankannya.
2. Dia harus mampu menjaga hubungan dengan siswanya, tidak terlalu menjaga
jarak sehingga ditakuti, tetapi juga tidak terlalu dekat sehingga tidak ada
jarak dan dilecehkan oleh siswa-siswanya.
3. Guru harus senantiasa berpakaian rapi, berkata baik, dan bersikap yang
propesional sebagai guru sesuai dengan harapan-harapan masyarakat dan kolega
guru lainnya.
4. Guru juga harus bersikap fair terhadap siswa-siswanya, jangan karena
kesalahan prilaku siswa hari kemarin, berakibat peada perlakuan dia terhadapnya
pada hari-hari berikutnya.
5. Terakhir guru harus mampu melaksanakan tugas-tugas keguuannya dengan penuh
tanggung jawab. Seorang guru profesioanal aka senantiasa membuat perencanaan
pembelajaran, membimbing siswa-siswanya belajar, serta melakukan evaluasi
terhadap proses dan hasil belajar siswa-siswanya untuk menentukan perencanaan
pembelajaran berikutnya.
Ada tujuh langkah yang harus dilakuka guru
agar dapat menjaga kemungkinan gangguan kelas oleh siswa sendiri, yaitu:
1. Penantaan kelas secara fisik harus terlihat nyaman untuk belajar.
2. Kurikulum harus tersusun berbasis pada tingkat kemampuan siswa.
3. Sikap guru yang tenang, antusias, penuh optimistik, akrab namun tetap
menjaga dignity keguruannya.
4. Kemampuan guru yang selalu menjadi harapan siswa dan mampu membuktikan
bahwa dia dapat memenuhi harapan mereka.
5. Sistem yang dikembangkan di sekolah mendukung bagi guru untuk mengembangkan
pengelolaan elas yang efektif, seperti sistem administrasi akademik
memungkinkan guru untuk mengembangkan berbagai inovasi pembelajaran, dan
terkomunikasi dengan baik pada orang tua.
6. Membuat perencanaan untuk hal-hal atau kejadian-kejadian yang tak terduga,
umpanya tiba-tiba dia tidak bisa masuk kekelas karena sakit atau halangan yang
lainnya, pembelaajaraan di kelasnya terus berjalan, dengan tidak melakukan
pengulangan yang tidak perlu, tetapi guru sudah mempersiapkannya dan guru lain
menjalakan persiapan tersebut.
7. Penampilan mengajar yang dapat diterima semua siswa, kelas terkelola dangan
baik, penyampaian guru jelas dan mudah dipahami, serta semua siswa merasa at
home dalam kelasnya, tidak ada yang merasa terpinggirkan, dan sebaliknya tidak
ada yang merasa menjadi kesayangannya.n semua merasa senang dan tenang dalam
kelasnya.
5. Guru Harus Melakukan Evaluasi Secara Benar
Kelas yang baik tidak cukup hanya didukung oleh
perencanaan pembelajaran, kemampuan guru mengembangkan proses pembelajaran
serta penguasaannya terhadap bahan ajar, dan juga tidak cukup dengan kemampuan
guru menguasai kelas, tanpa diimbangi dengan kemampuan melakukan evaluasi
terhadap pencapaian kompetensi siswa, yang sangat melakukan dalam konteks
perencanaan berikutnya, atau kebijakan perlakuan terhadap siswa terkait dengan
konsep belajar tuntas.
Menurut Norman E. Gronlund dan Robert L. Linn
menyampaikan lima prinsip umum dalam evaluasi (Gronlund, 1990: 6-8), yaitu:
1. buatlah spesifikasi secara jelas tentang apa-apa yang akan di evaluasi,
spesifikasi tersebut akan memudahkan dalam penentuan alat yang akan digunakan.
2. Teknik evaluasi harus diseleksi khususnya tentang relevensi teknik tersebut
dengan performa karakter yang akan diukur.
3. Evaluasi yang komprehensif dan holistik menuntut variasi teknik.
4. Penggunaan teknik-teknik evaluasi yang tepat menuntut perhatian akan
terbatas masing-masing teknik tersebut, yakni walaupun instrumennya sudah
tepat, tetapi belum tentu item-itemnya itu reliabel dan valid. Kemudian,
kalaupun sudah sangat baik instrumennya tersebut, masih bisa terjadi ktidak
tepatan hasil evaluasi, umpamanya, siswa mengisi soal dengan menebak bukan
dengan pengetahuan dan keyakinannya, kemudian dalam tes subjektif guru memberi
angka dengan pertimbangan subjektifnya, apalagi dengan instrumen pengamatan.
Akhirnya tidak ada tes yang secara total akurat, pasti ada kekurangan, dan
tugas guru adalah menekan kekurangan-kekurangan tersebut sampai pada tiik
minimal.
5. Evaluasi adalah alat menuju sebuah akhir, bukan akhir itu sendiri. Akhir
dari sebuah proses pembelajaraan adalah pencapaian tujuan dengan terwujudnya
indikator kompetensi pada siswa. Penggunaan teknik-teknik evaluasi akan dapat
menetapkan bahwa kompetensi tertentu telah tercapai, dan komptensi tertentu
lainnya belum tercapai, sehingga pengguna evaluasi tersebut menjadi sadar
dengan berbagai kelemahannya itu. Dengan demikian, evaluasi adalah cara terbaik
untuk memperoleh informasi dalam rangka pengambilan keputusan selanjutnya.[8]
1.2.
Strategi dan Metode Pengajaran
A.
Keterampilan
membuka dan menutup pelajaran
Keterampilan membuka dan menutup pelajaran merupakan keterampilan
dasar mengajar yang harus dikuasai dan dilatihkan bagi calon guru agar dapat
mencapai tujuan pembelajaran yang secara efektif.
B.
Membuka
pelajaran
Yang dimaksud dengan keterampilan membuka pelajaran adalah kegiatan
guru pada awal pelajaran untuk menciptakan suasana “siap mental” dan
menimbilkan perhatian siswa agar terarah pada hal-hal yang akan dipelajari.
Membuka pelajaran
dilakukan tidak hanya di setiap awal pelajaran, tetapi pada setiap penggal awal
dan akhir pelajaran atau setiap kali beralih ke hal atau topik baru misalnya,
dari penggal pengertian sholat beralih kepenggal syarat dan rukun sholat, dan
seterusnya. Beberapa cara yang dapat diusahakan guru dalam membuka pelajaran:
1.
Menarik
perhatian siswa,
2.
memotivasi
siswa,
3.
memberi
acuan / struktur pelajaran dengan menujukan tujuan atau kompetensi dasar atau
indikator hasil belajar, serta pokok persoslaan yang akan dibahas,
4.
mengaitkan
antara topik yang sudah dikuasai dengan topik yang baru,
5.
menanggapi
situasi kelas
C.
Prinsip-prinsip
penerapan membuka pelajaran
1.
Prinsip
bermakna, Artinya cara guru dalam memilih komponen keterampilan membuka
pelajaran mempunyai nilai yang sangat tepat bagi siswa dalam mengondisikan
kesiapan dan ketertarikan siswa untuk mengikuti pelajaran.
2.
Kontinu
/ berkesinambungan, atinya antara gagasan pembukaan pokok bahasan tidak terjadi
garis pemisah.
3.
Fleksibel
/ penggunaan tidak kaku, maksudnya penggunaan gagasa tidak terputus-putus atau
lancar.
4.
Antusias
dan kehangatan dalam mengomunikasikan gagasan
Dengan
antusias guru dalam mengomunikasikan gagasan pembuka , mendorong anak untuk
menilai bahwa poko bahasan yang akan
dipelajari mempunyai arti yang penting. Begitu juga dengan sikap hangat yang
ditampilkan oleh guru akan melahirkan respon terbuka, akrab, dan simpatik dari
anak, tidak ada rasa tertekan sehingga timbulnya kreatifitas anak.
Kebalikannya, penyajian gagasan pembuka dengan sikap otoriter dapat menimbulkan
respon tertutup. Apalagi dalam lontaran ancaman, anak akan bereaksi negatif dan
belajar dengan perasaan tertekan. Contoh antusias dan kehangatan: dapat
ditunjukan misalnya bertanya kabar pesrta didik, menanyakan mengapa teman teman
mereka tidak bisa masuk, atau bercerita sedikit yang dapat menyentuh perasaan
atau yang lain yang menujukan rasa simpati dan empati.
5.
Prinsip-prinsip
dan teknis penggunaan keterampilan membuka pelajaran.
Antara lain:
1.
Singkat,
padat dan jelas
2.
Keterampilan
tidak berulang-ulang atau berbelit-belit
3.
Menggunakan
bahasa yang mudah dipahami
4.
Disertai
contoh atau ilustrasi seperlunya
5.
Mengikat
perhatian anak.
D.
Menutup
pelajaran
Yang dimaksud dengan menutup pelajaran
bukanlah mengucapkan salam penutup dan membaca hamdalah atau do’a pada setiap
selesai kegiatan pembelajaran, karna kegiatan-kegiatan tersebut memang sudah
seharusnya dilakukan setiap mengakhiri kegiatan pembelajaran. Akan tetapi yang
dimaksud keterampilan menutup pelajaran adalah kegiatan guru untuk mengakhiri
pelajaran dengan mengemukakan kembali pokok- pokok pelajaran supaya siswa
memperoleh gambaran yang utuh tentang pokok-pokok materi dan hasil belajar yang
telah dipelajari.
Beberapa cara yang dilakukan oleh guru untuk menutup pelajaran
antara lain adalah:
1.
Merangkum
atau meringkas inti pokok pelajaran,
2.
Memberikan
dorongan psikologis atau sosial kepada siswa
3.
Memberi
petunjuk untuk pelajaran/ topik berikutnya,
4.
Mengadakan
evaluasi tentang materi pelajaran.[9]
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Menciptakan
kelas efektif dengan peningkatan efektivitas proses pembelajaran tidak bisa
dilakukan dengan parsial, tetapi harus holistik, yang dalam teori Hunt
ada lima bagian penting dalam peningkatan efektivitas pembelajaraan, yaitu
perencanaa, komunikasi, pengajaran, pengaturan dan evaluasi (Hunt, 1999:21).
Namun Kenneth D. Moore, mengembakannya menjadi tujuh langkah peningkatan
pembelajaran efektif, yakni dari mulai perencanaa, perumusan berbagai tujuan,
pemaparan perencanaan pemelajaran pada siswa, proses pembelajaran dengan
menggunkan berbagai strategi, penutupan proses pembelajaran dan evaluasi, yang
memberi feed back untuk perencangan berikutnya.
1)
Guru
Harus Menyusun Perencanaan Pembelajaran Yang Bijak
2)
Guru
Harus Mampu Berkomunikasi secara Efektif dengan Siswa-Siswanya
3)
Guru
Harus Mengembangkan Strategi Pembelajaran
4)
Guru Harus Mampu Menguasi Kelas
5) Guru Harus Melakukan Evaluasi Secara Benar
Strategi
dan Metode Pengajaran
a.
Keterampilan
membuka dan menutup pelajaran
b.
Membuka
pelajaran
c.
Prinsip-prinsip
penerapan membuka pelajaran
d.
Menutup
pelajaran
3.2. Saran
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat
beberapa kekurangan dan kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari segi
penyusunan kalimatnya dn dari segi isi juga masih perlu ditambahkan. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar dapat
memberikan kritikan dan masukan yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Rosyada Dede. 2013. Paradigma
Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana.
Marno, M. Idris. 2010. Strategi
dan Metode pengajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar